Yatim
Kita selalu punya pilihan untuk menyikapi sebuah tragedi,
menghadapinya dengan berani atau menyerah terhadap trauma yang biasanya
menyertai sebuah tragedi, dan keluarga kecil itu memilih pilihan yang pertama.
Tiga orang bocah kakak beradik, yang
sulung belum lulus SD, yang nomer dua baru kelas 4 SD sementara si bungsu
bahkan belum masuk TK. Dipagi yang cerah itu mereka mendapati kenyataan yang
tidak pernah terpikirkan sebelumnya, sebuah kabar yang bahkan membuat sang ibu jatuh pingsan,
sanak saudara berurai air mata, kabar itu adalah bahwa sang ayah yang baru
berusia 37 tahun meninggal secara mendadak.
Dalam waktu singkat bocah-bocah itu
menjadi anak yatim.
Setelah pagi yang memilukan itu sang
ibu selama beberapa hari terus larut dalam kesedihan, namun kemudian perempuan
muda yang belum genap berusia 35 tahun itu memilih untuk tegar setelah sadar
bahwa ada tiga bocah yatim yang menjadi tanggungannya.
Si Sulung yang pendiam dan pemalu
tanpa dia sadari sepenuhnya menjadi lebih cepat dewasa dari usia seharusnya.
Dia harus sekuat tenaga menahan isak
ketika melihat adik bungsunya berlari kencang dari belakang rumah lalu berhenti
dihalaman tepat saat saudara sepupunya dibonceng ayahnya, bocah kecil itu mengamati
motor yang melaju pelan meninggalkan halaman rumah dengan tatapan lugu, si
sulung hanya bisa bertanya “pingin po?” yang dijawab dengan anggukan dan senyum
lebar si bungsu, dalam benaknya pertanyaan itu harusnya menjadi tawaran bukan
sekedar konfirmasi, namun apa daya sang kakak hanya bisa bertanya, peristiwa itu
terus terngiang dalam benaknya sampai sekarang setelah puluhan tahun berlalu.
Si sulung yang sebenarnya penakut
itu juga tiba-tiba menjadi pemberani, keberanian yang terpaksa lebih tepatnya,
pada senja hari menjelang maghrib bersama dengan kakak sepupunya yang lebih
dewasa dia masuk kepemakaman, mendekati pusara sang ayah, mengamati sudut-sudut
makam, untuk mencari adik pertamanya yang hingga menjelang maghrib belum pulang
kerumah, sementara sang ibu panik luar biasa dan khawatir jangan-jangan anak
nomer duanya yang badung itu mendatangi pusara ayahnya karena takut dimarahi.
Momen-momen seperti itulah yang
membuat tiga bocah yatim itu menjadi lebih dekat, dengan bimbingan sang ibu
berusaha mengahadapi dunia yang tidak lagi sama seperti sebelumnya ketika sang
ayah masih ada.
Puji syukur, pagi yang memilukan itu
tidak membuat trauma, namun justru menguatkan keluarga kecil yang ringkih itu,
sedikit demi sedikit merangkak lalu mencoba berjalan normal meski satu penopang
keluarga telah tiada.
Kondisi seperti itu mungkin tidak
akan dirasakan oleh anak-anak dari keluarga yang lengkap, dengan kasih sayang
yang besar. Mereka anak-anak yatim itu tumbuh dan menjadi dekat dengan cara berbeda
dengan anak-anak lainnya, bocah-bocah itu saling menguatkan karena sadar mereka
belajar terbang bersama induk yang sayapnya patah.
Komentar
Posting Komentar