Kapitalisme; Lawan Atau Nikmati Saja

Kali ini kami mengatakan, bahwa apa yang kami lakukan merupakan puncak dari semua kegelisahan serta kemarahan kami terhadap sistem yang sedang berjalan ini. Sistem yang memberhalakan uang, sistem yang merecoki keseharian masyarakat dengan televisi, agar mereka membeli barang-barang yang tak mereka perlukan agar mereka terus bekerja seperti mesin. Sistem yang mengharuskan kami beserta masyarakat lainnya tidak memiliki kendali atas hidup kita sendiri.
Bagi kami semua, ini bukan saatnya untuk diam, bukan saatnya untuk tenang menonton acara di depan televisi dan berkata bahwa "semua baik-baik saja".
(Penggalan isi selebaran pelaku pembakaran ATM di Sleman, Yogyakarta)

Sekelompok anak muda melancarkan serangan dengan membakar sebuah mesin ATM, tidak jauh dari mesin ATM yang dibakar itu mereka meninggalkan pesan yang berisi kecaman-kecaman terhadap pemerintah dan kapitalisme, hal itu terjadi di Bandung dan Yogyakarta. Sedangkan dijantung kapitalisme dunia, New York USA, para pemuda dan mahasiswa berusaha menduduki gedung Wall Street sebagai sebuah protes atas krisis hutang dan keserakahan segelintir pengusaha yang mengakumulasi kekayaan sedemikian besar, protes anti wall street itu kemudian menyebar hampir keseluruh dunia. Sementara itu diujung timur Indonesia para pekerja perusahaan tambang emas terbesar didunia Freeport, mogok kerja menuntut kenaikan gaji agar sesuai dengan gaji pekerja tambang Internasional, mereka bahkan rela mati untuk menuntut hak-haknya itu. Apakah ini fenomena massif yang akan menggerakkan seluruh penduduk bumi untuk melawan kapitalisme global?  Sepertinya tidak, sebab kapitalisme terlalu tangguh untuk ditaklukkan hanya dengan aksi protes maupun vandalisme jalanan.

Disisi lain, sebagian anak-anak muda negeri ini sedang asik-asiknya dengan Boy Band dan Girl Band, mereka mencitrakan diri menjadi simbol anak muda yang enerjik, kreatif, semangat dan tentunya juga keren, maka berbondong-bongdonglah penggemar mereka meniru gaya dan tampilan para idolanya itu, lagi-lagi mereka menjadi lahan empuk bagi komodifikasi gaya hidup. Sementara itu para calon intelektual sedang sibuk berdebat hebat tentang Neo Liberalisme di kampus-kampus sambil menghisap rokok Marlboro dan menenggak sebotol Coca Cola (kontradiksi yang sering tidak disadari). Lalu pemerintah yang katanya Pancasilais sedang sibuk memberikan kemudahan bagi perusahaan asing untuk berinvestasi dan memeras tenaga penduduk yang berharga murah.

Dulu ketika komunisme masih kuat, kapitalisme ini tidak berdiri sendirian sebagai ideologi dominan, namun kini setelah hancurnya komunisme, hampir tidak ada lagi ideologi besar yang bisa mengimbangi kapitalisme. Meski kini berkembang ekonomi Islam dengan lembaga Syari'ahnya namun saya pribadi belum melihat adanya suatu perubahan yang benar-benar Islami dalam sistem ekonomi kita, yang saya maksud Islami bukan sekedar kalau mau hutang tanpa bunga (untuk soal bunga sudah terlalu banyak pengkilahan sampai ganti istilah hingga kemudian dianggap bukan lagi riba), namun lebih dari itu yang saya maksud Islami adalah sistem ekonomi yang berkeadilan dan tentunya juga pemegang kedaulatan ekonomi adalah umat Islam sendiri (ingat ! umat Islam bukan elit Islam)

Lalu, apakah kita memang perlu menggalang kekuatan untuk melakukan “semacam” revolusi social untuk menghancurkan kapitalisme, atau kita nikmati saja semua buaian kapitalisme ini . Sambil berfikir akan melakukan aksi atau menikmati saja apa yang ada,  tak ada salahnya kita juga berfikir untuk menguatkan ekonomi lokal, kearifan lokal, budaya lokal, dan kekuatan lokal lainnya, saya kira itu cara yang paling masuk akal untuk melawan sekaligus menikmati hegemoni kapitalisme global.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Garis Pertemuan Laut dan Langit

Pendapat mereka tentang sekolah

Hotpant