Sejarah Palsu
Sudah jauh-jauh hari Ibnu Khaldun dalam bukunya Al Muqoddimah mengingatkan untuk membaca
secara kritis sejarah, sebab sejarah yang telah tertulis seringkali disusupi
kepentingan penguasa, lalu sejarah yang telah disusupi kepentingan itu
diajarkan dari generasi kegenerasi tanpa diteliti kebenarannya, sehingga yang
tersebar bukannya kebenaran namun kebohongan.
Pada tahun 1965 Cindy Adams seorang wartawan Amerika
menerbitkan Biografi Bung Karno Sukarno
An Autobiography As Told To Cindy Adams, edisi asli dari buku itu berbahasa
Inggris, baru pada tahun 1966 terbit edisi terjemah berbahasa Indonesia Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Biografi itu satu-satunya buku Bung Karno yang diijinkan beredar pada masa Orde
Baru dan beberapa kali mengalami cetak ulang.
Biografi terjemahan yang telah beredar selama puluhan tahun
itu dianggap merupakan terjemahan otentik dari tulisan Cindy Adams dan menjadi
acuan setiap orang yang ingin mengetahui sejarah hidup Sukarno.
Hampir selama Orde Baru berkuasa tidak ada yang melakukan
kritik secara terbuka atas buku itu, meski didalam buku itu ada tulisan yang
agak janggal yang mengesankan kalau Bung Karno meremehkan peran Bung Hatta dan
Syahrir dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Baru pada tahun 2007 ketika Yayasan Bung Karno akan
menerbitkan kembali buku itu dilakukankanlah pengecekan kembali atas terjemahan
awal buku itu khusunya menyangkut beberapa kalimat kontroversial yang tertulis
didalamnya.
Dan hasilnya ternyata sangat mengejutkan, karena ada tambahan
dua alinea dalam edisi bahasa Indonesia sejak tahun 1966 yang sebenarnya tidak
ada dalam edisi aslinya.
Menurut Asvi Warman Adam dalam pengantar edisi revisi buku
itu, pada halaman 341 (edisi lama) tertulis:
“ .... Rakyat sudah
berkumpul. Ucapkanlah proklamasi.” Badanku masih panas, akan tetapi aku masih
dapat mengendalikan diriku. Dalam suasana dimana setiap orang mendesakku,
anehnya aku masih dapat berpikir dengan tenang.
“Hatta tidak ada”
kataku “saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada.”
Lanjutan alinie ini kalau dicek teks asli bahasa Inggris : dalam detik yang gawat dalam sejarah inilah
Sukarno dan tanah air Indonesia menunggu kedatangan Hatta.
Namun diantara kedua kalimat itu ternyata disisipkan dua
alinea yang tidak ada dalam teks Inggrisnya yaitu:
Tidak ada yang
berteriak, “Kami menghendaki Bung Hatta.” Aku tidak memerlukannya. sama seperti
aku tidak memperlukan Syahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri disaat
pembacaan Proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan
memang aku melakukannya sendirian. Didalam dua hari yang memecahkan urat syaraf
itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada.
Peranannya yang
tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya Sukarnolah yang tetap
mendorongnya kedepan. Aku memerlukan orang yang dinamakan “pemimpin” ini karena
satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang
Sumatra dan dihari-hari yang demikian itu aku memerlukan setiap orang denganku.
Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatra. Dia adalah jalan yang
paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau nomor dua terbesar di Indonesia.
Dalam dua alinea tambahan itu tampak (atau coba ditampakkan)
kalau Bung Karno menyepelekan peranan Bung Hatta dan Bung Syahrir, bahkan
menganggap Bung Hatta hanya pelengkap saja agar Bung Karno mendapat dukungan
dari rakyat Sumatra, padahal semua rakyat Indonesia tahu bahwa Bung Hatta bukan
sekedar sosok pelengkap yang hanya bisa berdiri dibelakang Sukarno, Sukarno
Hatta adalah dua sosok yang saling melengkapi.
Dalam buku setebal sekitar 400an halaman tambahan dua alinea
itu sepertinya tidak banyak merubah isi bukunamun ini buku sejarah,
keseluruhan buku mungkin tidak banyak berubah namun rakyat akan mendapati kabar
bohong akan peran Bung Hatta dalam kemerdekaan Indonesia juga tentang hubungan
Bung Karno dan Bung Hatta khususnya pada masa-masa awal kemerdekaan.
Untungnya kini semua kebohongan itu telah dijawab dalam
Biografi Bung Karno Bung Karno Penyambung
Lidah Rakyat Indonesia edisi revisi, meski begitu kita tetap tidak bisa
membaca mentah-mentah sebuah buku apalagi jika buku itu adalah buku terjemahan,
bukan hanya buku sejarah namun buku dengan tema apapun berpotensi untuk
dipalsukan, bahkan buku-buku atau kitab-kitab agamapun dapat dipalsukan,
dikurangi atau ditambahi demi kepentingan kelompok tertentu.
Komentar
Posting Komentar